“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran:159).
Oleh: Ustd. Abdurrahman Muhammad
Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun ketika kaum Muslimin khawatir tidak diajak lagi bermusyawarah oleh Nabi Muhammad Shalalallahu alaihi wa Sallam (SAW) setelah pasukan Islam mengalami kekalahan dalam perang Uhud.
Seperti diketahui, sebelum perang Uhud, Rasul SAW mengajak kaum Muslimin bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut mayoritas peserta menghendaki agar pasukan Muslim menyongsong kedatangan pasukan kafir diluar kota, sedangkan pendapat Rasulullah SAW sendiri adalah menunggu kedatangan mereka sampai di kota Madinah. Saat itu, Rasulullah SAW memilih pendapat mayoritas, yaitu menyongsong musuh di luar kota. Setelah perang usai ternyata strategi yang yang disepakati mayoritas itu salah, terbukti dengan kekalahan di pihak pasukan Islam.
Di tengan kekhawatiran tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menurunkan ayat di atas untuk mempertegas bahwa musyawarah adalah bagian penting dan strategi dalam membangun kehidupan sosial yang Islami. Sebuah jamaah atau komunitas Islam tidak boleh meningggalkan musyawarah hanya karena alasan bahwa keputusan syura biasa salah atau bahkan kesalahan tersebut membawa petaka, berupa kekalahan.
Pillihan Rasulullah SAW untuk mengikuti pendapat mayoritas adalah sebuah qudwah sekaligus uswatun hasanah bagi ummat di belakangnya. Beliau sendiri menegaskan, “Dua orang atau lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang,. Tetapkanlah kaum dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan mempersatukan ummatku kecuali dalam petunjuk (hidayah). “(Riwayat Abu DAud)”.
Dalam Hadist yang lain beliau bersabda; “Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu, jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak (mayoritas).”(Riawayat Anas bin Malik).
Tentu saja tidak semua keputusan harus didasarkan pada suara terbanyak. Dari tiga jenis keputusan, hanya satu yang bias dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Tiga jenis keputusan itu adalah :
1. Keputusan yang berkaitan dengan hukum syariah. Terhadap keputusan ini, tidak harus dilakukan dengan suara terbanyak tetapi diserahkan kepada para ahlinya. Siapa yang paling rajih, maka pendapat itulah yang harus diikuti.
2. Keputusan yang berkaitan dengan disiplin ilmu dan segala hal yang berkaitan dengan masalah akademis. Terhadap keputusan ini, otoritasnya di tangan para pakar dan orang-orang yang ahli di bidangnya.
3. Keptusan yang berkaitan dengan melaksanakan tindakan seperti memilih wakil umat, kepala Negara, atau ketua organisasi. Terhadap keputusan jenis ini, yang paling afdhal adalah melalui suara terbanyak. Jenis keputusan ini tidak berkaitan dengan benar atau salah, halal atau haram, juga tidak berkaitan dengan baik atau buruk.
Inilah yang membedakan membedakan antara syara dengan demokrasi. Dalam demokrasi, ketiga jenis keputusan di atas bisa di dasarkan pada suara terbanya,k Karena suara mayoritas (rakyat) itulah yang paling berdaulat. Sedang dalam syura, kedaulatan tertinggi tetap di tangan Allah SWT.
Posting Komentar