الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِ، وَالْعَظَمَةُ ِإزَاِريْ، فَمَنْ نَازَعَنِيْ ِفيْهِمَا قَََصَمْـتُهُ وَلاَ أُبَالِيْ
Kesombongan adalah selendang-Ku, keagungan adalah sarung-Ku. Siapa melepaskan kedua pakaian itu dari-Ku, maka Aku akan membinasakannya dan tidak akan Aku berikan rahmat kepadanya. (HR Muslim)
Syaikh az-Zarnuji memberi nasihat kepada kita agar menjauhi sifat sombong dalam sebuah syair yang tercantum dalam kitab karya beliau, yaitu “Ta‘lîm al-Muta‘allim” :
وَالْكِبْرِيَاءُ لِرَبِّـنَا صِـفَةٌ بِهِ * مَخْصُوْصَةٌ فَتَجَـنَّبْـنَهَا وَاتَّقِى
Kesombongan adalah satu sifat yang dimiliki Tuhan kita
Maka jauhilah sifat itu dan takutlah ( jagalah) dirimu
Mengapa terkadang bahkan seringkali kita sombong? Kenapa setan berhasil menanamkan sifat itu pada diri kita? Biasanya kita akan menyombongkan diri karena kelebihan yang kita miliki. Namun, adakalanya kita bersikap sombong justru untuk menutupi kekurangan kita. Banyak orang berkata,
Maka jauhilah sifat itu dan takutlah ( jagalah) dirimu
Mengapa terkadang bahkan seringkali kita sombong? Kenapa setan berhasil menanamkan sifat itu pada diri kita? Biasanya kita akan menyombongkan diri karena kelebihan yang kita miliki. Namun, adakalanya kita bersikap sombong justru untuk menutupi kekurangan kita. Banyak orang berkata,
“Sudah miskin, sombong pula.”
“Tak punya ilmu tapi lagaknya seperti ahli hadits.”
“Air beriak tanda tak dalam.”
“Tong kosong memang berbunyi nyaring.”
Banyak lagi ungkapan yang menunjukkan kesombongan. Kesombongan sebenarnya tak mempunyai kelebihan sedikit pun. Satu-satunya kelebihan yang dimiliki hanyalah sifat sombong itu sendiri. Dan, sungguh, itu sebuah kerugian.
Berikut ini penulis uraikan hal-hal yang bisa membuat diri kita menjadi sombong. Dengan mengetahuinya, maka kita bisa memohon kepada Allah agar terhindar dari sifat ini. Semoga Allah menjauhkan diri kita dari sifat sombong dan memelihara kita dengan sifat tawadhu‘, amin.
a. Harta
Harta bisa menjadikan diri kita merasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri. Harta juga yang membuat kita pamer kepada orang lain, khususnya kepada orang yang tidak sekaya kita, apalagi terhadap orang-orang miskin.
Mungkin kita akan berkata, “Saya berhak sombong karena harta saya melimpah-ruah. Kekayaan saya dimakan 7 (tujuh) turunan juga tidak akan habis. Mulai dari anak, putu (bahasa Jawa, artinya cucu), buyut (cicit), canggah (piut), wareng (anggas), udeg-udeg (piut-miut) dan gantung siwur (keturunan ketujuh).”
Dalam Al-Qur’an al-Karim, Allah membuat perumpamaan orang sombong karena kekayaan kebun yang dimiliki.
Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.”
(QS al-Kahfi [18] : 32-34)
Pertanyaannya adalah, “Apakah kita memang berhak sombong karena harta segunung?”
Ada sebuah kisah yang akan mengingatkan kita bahwa harta kekayaan yang kita miliki nilainya sangat sedikit. Pada suatu malam Khalifah Harun ar-Rasyid sedang gelisah, kemudian beliau meminta pengawalnya untuk mengundang seorang ulama ahli hikmah. Sesampai di istana, ulama tersebut disuguhi hidangan dan minuman air putih. Singkat cerita, terjadilah percakapan antara khalifah dengan sang ulama. Harun berkata,
“Kyai, saat ini saya sedang gelisah. Mohon nasihat dari Kyai agar pikiran saya tenang, hati pun tidak resah. Saya ingin mengaji.”
“Baginda, sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jamuan ini. Kalau boleh, saya ingin bertanya,” kata sang ulama.
“Silakan, Kyai.”
“Begini, Baginda. Harga segelas air putih ini berapa ya?”
“Saya kira mau bertanya apa, Kyai. Harga segelas air putih itu murah sekali, hanya beberapa dirham. Kalau Kyai mau, nanti saya kirim berbotol-botol ke rumah Kyai. Bila perlu, sebanyak air di kolam istana.”
Sang ulama tersenyum tulus mendengar tawaran Harun ar-Rasyid. Baginya, senyum adalah ibadah, sebagaimana dicontohkan sang teladan mulia, Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ulama itu pun menjawab,
“Terima kasih atas kemurahan hati, Baginda. Kalau diperkenankan saya ingin bertanya lagi. Misalnya saja musim ini musim kemarau yang sangat panjang, sehingga kerajaan ini dan kerajaan-kerajaan lain kekeringan—hanya tersisa satu gelas air ini saja yang bisa diminum. Kira-kira, Baginda mau membeli segelas air ini dengan harga berapa?” lanjut sang ulama.
Suasana hening sejenak. Harun ar-Rasyid mengerutkan keningnya untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan sang ulama—pertanyaan yang baginya sungguh aneh. Namun, dia percaya tidak mungkin sang ulama akan sembarangan bertanya, pasti ada hikmah di balik itu semua. Lalu sang Khalifah pun menjawab dengan mantap,
“Kyai, kalau memang itu terjadi, maka berdasarkan fiqh bahwa mempertahankan hidup hukumnya wajib, saya akan membeli segelas air putih itu dengan seluruh kerajaan saya beserta isinya. Harta bisa dicari Kyai, asalkan kita masih hidup.”
Sang ulama mengangguk pelan tanpa suara, menunjukkan dia benar-benar mengerti bahwa Harun bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Dengan suara yang begitu tenang dan lembut, sang ulama melanjutkan nasihatnya,
“Begitu ya, Baginda. Kalau memang itu yang akan Baginda lakukan; maka ingatlah, ternyata seluruh harta kekayaan Baginda—kerajaaan beserta isinya—hanya seharga segelas air putih ini. Betapa Allah Maha Kaya, sedangkan kita makhluk yang fakir.”
Suasana kembali hening, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba, air mata menetes membasahi pipi Khalifah Harun ar-Rasyid. Sambil menangis, sang Khalifah berkata ,
“Kyai... Terima kasih atas nasihat bijaknya.”
Kisah di atas juga tercantum di buku tulisan Dr. ‘Aidh al-Qarni yang berjudul “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, dengan versi yang berbeda namun intinya sama. Wallâhu a‘lam bish-shawâb. Seorang ulama bertanya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid,
“Jika engkau tidak diizinkan Allah untuk meminum seteguk air-Nya, dapatkah kiranya engkau menebusnya dengan kekayaan dari kerajaanmu?”
“Demi Allah, tidak!” jawab Harun.
“Wahai Harun, dapatkah engkau menebus air yang telah engkau keluarkan dengan setengah perbendaharan kerajaanmu?”
Maksud air yang telah dikeluarkan adalah keringat, air seni dan sejenisnya. Bila Harun ar-Rasyid tidak bisa berkeringat, buang air kecil dan meneteskan air mata, apakah bisa ditukar dengan setengah perbendarahaan kerajaannya? Mendengar pertanyaan itu, Harun sadar bahwa apa yang dia miliki hanya sedikit saja. Dengan keyakinan mantap, Harun menjawab,
“Tidak, demi Allah. Kerajaan yang nilainya tidak lebih banyak dari seteguk air, bukanlah kerajaan yang sesungguhnya.”
Dari cerita tersebut, tidakkah kita sadar bahwa kita ini fakir? Apakah layak kalau kita sombong karena harta yang kita miliki?
Barangkali kita akan berkilah, “Ah, itu kan misalnya, hanya sebuah cerita; kalau musim kemarau berkepanjangan sehingga semua negara kekeringan. Itu dogma, tidak akan terjadi, apalagi di Indonesia. Di negara kita, air melimpah, banyak perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), bahkan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) pun masih aman-aman saja.”
Kalau memang itu argumentasi kita, apakah kita tidak tahu bahwa Allah Maha Kuasa (Al-Qâdir) untuk mengembalikan kita seperti bayi lagi yang tidak punya harta sesen pun, dan itu bisa terjadi dalam hitungan detik sebagaimana Qarun dan seluruh hartanya? Tidak ingatkah kita bagaimana tsunami di Aceh telah meluluh-lantakkan semua bangunan? Apa kita lupa bagaimana gempa yang terjadi di nusantara serta belahan lain bumi ini telah meratakan semua rumah dan gedung? Harta yang kita kumpulkan bertahun-tahun, langsung lenyap dalam sekejap.
Mungkin kita masih menampik fakta tersebut dengan berkata, “Itu kan memang daerah rawan. Rumah saya di daerah aman, tidak akan ada tsunami atau gempa. Jadi tidak perlu kuatir.”
Kalau memang itu dalil kita, lupakah kita bahwa setiap musim liburan/lebaran, ada saja rumah, kompleks pertokoan atau pasar yang terbakar; dengan penyebab klasik, yaitu listrik korslet (hubungan arus singkat)? Padahal sudah ada pengaman listrik seperti sekering dan MCB (Mini Circuit Breaker)? Bukankah sudah kita lihat bersama-sama bagaimana banjir melanda berbagai wilayah negeri ini termasuk kota besar seperti Jakarta? Dalih apa lagi yang akan kita ajukan?
Bermegah-megahan dalam harta dan segala yang bersifat kebendaan bisa melalaikan kita akan pertemuan yang pasti di hari yang dijanjikan. Terlalu sibuk dalam sarana dan melupakan tujuan utama adalah suatu kebangkrutan. Bermegah-megahan dalam harta berarti usaha memperkaya diri dengan mengumpulkan dan menimbun kekayaan materi untuk dinikmati, tetapi tidak dinafkahkan sesuai hak dan kewajiban. Dengan demikian, itu justru berarti kemelaratan yang menyibukkan. Umur habis untuk mencari tetapi hakikatnya tanpa hasil.
Siapa yang mendahulukan bentuk daripada isi, mendahulukan kulit luar daripada niat dan tujuan utama, mendahulukan dunia daripada akhirat, dan mendahulukan makhluk daripada Khaliq adalah seorang hamba yang sesat jalan dan buruk nasibnya di akhirat kelak.
Sudah lupakah kita bahwa seluruh nikmat yang kita terima adalah anugerah Allah? Apakah kita mengira bahwa nikmat itu akan kekal selamanya? Apakah kita tidak memperhatikan firman Allah bahwa yang berhak sombong hanyalah Beliau Yang Maha Memiliki Kebesaran (Al-Mutakabbir)? Kalau kita mengenakan pakaian kesombongan, bukankah itu berarti kita menantang Allah? Tidakkah itu mengandung maksud bahwa kita memproklamirkan diri sebagai tuhan? Kalau sudah begitu, siapakah yang sanggup melawan Allah, Penguasa Alam Semesta (Mâlik Al-Mulk), Raja Diraja (Al-Malik) dengan semua ke-Mahagagahan dan ke-Mahaperkasaan-Nya? Wal ‘iyâdzu billâh.
Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْـقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
Tidaklah masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat kesombongan sebesar dzarrah (atom). (HR Bukhari)
Menyadari kefakiran kita, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :
اللَّهُمَّ لاَمَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ رَاۤدَّ لِمَا قَضَيْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَالْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Ya Allah, tiada yang dapat mencegah apa yang Engkau anugerahkan, tiada juga yang memberi apa yang Engkau cegah, tiada pula yang dapat menolak apa yang Engkau tetapkan. Tidak berguna dan tidak pula dapat menyelamatkan seseorang dari kekayaan, kedudukan, anak, pengikut dan kekuasaannya. Yang menyelamatkan dan berguna baginya hanyalah anugerah dan rahmat-Mu.
Daftar Pustaka :
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
Posting Komentar