Selamat datang di adieenilmu.blogspot.com

Memahami Epistemologi Islam

Minggu, 16 Mei 20100 komentar

Biasanya, epistemologi diterjemahkan sebagai teori tentang
ilmu, memahami ilmu (nadzariyyatul ‘ilm, fahmul ‘ilm). Setiap peradaban
memiliki paham tersendiri tentang ilmu, demikian pula Islam. Bagi seorang
muslim, epistemologi bukan sekadar teori. Epistemologi Islam adalah bagian dari
akidah. Ini sudah dibahas oleh para ulama pada masa dahulu.
Dalam buku ‘Al-‘Aqaid an-Nasafiyah’ misalnya, adalah
di antara buku akidah yang menjadi pegangan bagi ahlus-sunnah wal-jamaah. Buku
itu sudah membicarakan apa yang hari ini disebut sebagai epistemologi. ‘Haqaaiq
al-asy’ya tsabitatun wal-‘ilmu bihaa mutahaqqiqun khilafan li
ash-shufastaiyyah’
. (Hakikat sesuatu itu adalah tsabit (tetap). Dan
pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar, berbeda dengan para
sophist). Jadi, itu merupakan pembahasan soal epistemologi.

Cara Mendapatkan Ilmu
Adapun cara dan sebab musabab manusia menerima ilmu serta
jalan mana saja memperolehnya (asbabul-‘ilm), yang pertama melalui panca indera
yang lima (khawasul-khamsah). Dan jalan kedua adalah melalui al-‘aqlus-salim
(akal yang sehat). Dan selanjutnya melalui khabar shadiq (berita yang benar).
Melalui ketiga jalur inilah manusia bisa menerima ilmu.

Dalam bahasa kontemporer, dikenal sumber empiris (al-haqiqah
at-tajribiyyah
), sumber rasional (al-haqiqah al-‘aqliyyah), dan sumber otoritas
(al-haqiqah al-muthlaqah). Jika kita mendapatkan ilmu dengan cara melihat,
berpikir, dan menerima berita. Bagaimana Anda tahu bahwa burung gagak itu hitam?
Benarkah pelangi itu berwarna-warni? Apakah bisa dipertanggungjawabkan bahwa
warna cahaya matahari itu putih? Saya melihatnya sendiri. Melihat itu suatu
bukti empiris yang paling dasar.

Dalam Al-Quran disebutkan, وَاللّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ
يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لاَ
يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئاً إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl (16) : 78).

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ
يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى
الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga,
yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj (22)
: 46).

Nah, itu yang disebut tiga sumber memperoleh ilmu (asbabul
‘ilm
). Pertama, sumber inderawi. Kedua, sumber ‘aqli. Ketiga, sumber yang
bersifat khabari (berita).

Penglihatan adalah lambang dari panca inderawi dan
pendengaran adalah lambang dari khabar shadiq, dan akal fikiran adalah lambang
dari akal yang sehat. Jalan-jalan inilah yang bisa dijadikan mediator (wasilah)
untuk mendapatkan ilmu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
(QS. Al-Araf (7) : 179).

Para ulama mengatakan bahwa hanya ada tiga saluran ilmu,
karena mereka paham ada epistemologi lain selain itu. Sebab ada paham lain yang
mengatakan, manusia itu tidak bisa tahu dan tidak bisa sampai pada pengetahuan
(kebenaran). Jika premis awal yang dibangun bahwa manusia tidak bisa tahu
(ma’rifat), maka pengetahuan, peradaban, dan agama tidak ada.

Paham ilmu seperti ini disebut sophisme atau sufasta’iyyah
dan ini sangat ditolak oleh Islam. Inilah yang sering dipelajari dalam
ilmu-ilmu filsafat yang keliru itu. Katanya, ilmu yang paling tinggi itu jika
tidak tahu. Filsafat seperti ini disebut filsafat agnostic atau la adriyah.

Makin tinggi ilmu seseorang, makin dia tidak tahu. Dan inilah puncak ilmu,
katanya.

Ada pula yang berpendapat, kebenaran itu ada tetapi relatif
dan nisbi. Tergatung orang dan zamannya. Kebenaran itu tidak dapat di-share. Betul, menurut Anda, tetapi belum
tentu menurut saya. Betul pada masa dahulu, tetapi belum tentu betul untuk
zaman sekarang. Atau betul di sebuah tempat, tetapi tidak betul di tempat lain.

Ataupun, betul bagi lelaki tetapi tidak betul bagi
perempuan. Akhirnya, secara filosofis, mereka mengatakan, karena agama itu
dibawa oleh para Nabi yang laki-laki, maka mereka tidak paham perempuan. Endingnya, muncul istilah agama yang
bias gender karena itu mereka menganggap perlu penafsiran perempuan.

Mereka pada akhirnya masuk pada aliran kaum sophist, jenis
aliran al-‘Indiyyah. Aliran-aliran seperti ini seolah-olah mengatakan, apa yang
diketahui dan dipahami perempuan tidak bisa diketahui laki-laki. Sebaliknya,
apa yang diketahui dan dipahami laki-laki, tidak bisa diketahui dan dipahami
perempuan. Juga, apa yang diketahui zaman dahulu, sudah tidak benar di zaman
sekarang. Akidah seperti ini sangat ditolak dalam ajaran Islam, khilafan li
ash-shufastaiyyah
(berbeda pendapat kita (Islam), bertentangan dengan kaum
sophist).

Yang dikategorikan kaum sophist, terdiri dari tiga golongan.
Pertama, kelompok al-la adriyyah (agnostik). Mereka selalu mengat
akan tidak
tahu dan ragu-ragu (skeptis) tentang keberadaan sesuatu dan meragukan sesuatu.
Kedua, al-‘Indiyyah. Mereka mengatakan bahwa ilmu itu bersifat subyektif.
Mereka menerima kemungkinan ilmu pengetahuan dan kebenaran tetapi menolak bahwa
ilmu bisa dikomunikasikan. Baginya, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah
subyektif (‘indi, yaitu menurut saya). Ketiga, al-‘Inadiyyah (kelompok keras
kepala). Mereka menafikan realitas dan menganggapnya sebagai fantasi. Kelompok
al-‘Indiyyah ini disebut sebagai kaum nihilis.

Solusinya kita mesti memperkenalkan kembali para ulama kita
yang mu’tabar (tepat) kepada kaum muslimin. Para sarjana muslim zaman silam
seperti ‘Abdul Qahir Al-Baghdadi (wafat 1037), Abu Umar An-Nasafi (wafat 1142),
Sa’duddin At-Taftazani (wafat 1387), dan Nuruddin Ar-Raniri (wafat 1658) hingga
yang kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 1931),
mengajarkan epistemology Islam secara sistematis. Kita mesti meyakinkan kembali
bahwa para ulama’lah pewaris Nabi yang memimpin kita ke jalan yang lurus.

Memang, Rasulullah Saw memberi peninggalan Al-Quran dan
As-Sunnah, tetapi beliau juga memberikan warisan, yaitu para ulama. Kalau
keyakinan kita kepada para ulama sudah pudar, maka keyakinan kita terhadap
Al-Quran dan As-Sunnah juga akan pudar. Kan, untuk memahami Al-Quran ada
ilmunya, dan untuk memahami As-Sunnah juga ada ilmunya. Tanpa ilmu-ilmu itu –yang
sudah dikembangkan oleh para ulama-  tidak mungkin kita akan bisa memahami
Al-Quran dan As-Sunnah dengan betul.

Ada ulama tafsir, ulama qiraah, ulama hadits, ulama fiqh,
ulama ushul fiqh, ulama kalam, ulama bahasa Arab, yang bisa membantu umat memahami
Al-Quran dan As-Sunnah dengan tepat. Kalau kita menolak ulama-ulama itu, dan
kononnya kita ingin langsung mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, kita
menghadapi resiko reinventing a new wheel (menciptakan kembali roda
baru) yang tidak perlu dan menghabiskan waktu. Yang harus kita lakukan sekarang
adalah melanjutkan dan meneruskan apa yang diwariskan para ulama kepada kita.
Ini juga bagian dari epistemologi Islam.

Seorang muslim wajib mengetahui ilmu yang fardhu ‘ain
(ilmu-ilmu agama). Sebab dia beragama Islam. Jika ia tidak tahu, maka agamanya
kurang sempurna. Ilmu-ilmu itu wajib diketahui, karena dia sudah menyatakan
diri sebagai muslim/ah. Harus ada yang diketahui dan dipahami secara mendalam
tentang keislamannya. Dan selalu ditingkatkan mutunya. Ilmu ini sangat mendasar
karena menyangkut tentang ghoyah (puncak tujuan hidup)

Sedangkan ilmu-ilmu yang lain, adalah ilmu yang fardhu
kifayah untuk menyelamatkan umat manusia. Ilmu ini berkaitan dengan wasilatul
hayah
(sarana kehidupan). Selama ini kita hanya mengetahui satu saja. Yang
fardhu ‘ain saja, atau kebalikannya. Atau yang umum saja. Padahal, antara
wasilah dan ghoyah tidak bisa dipisah-pisahkan, integral. Bahkan, bisa terjadi
sarana dihukumi sebagai ghoyah (tujuan) tergantung kebutuhan. 

“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan
bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah (9) : 121-122). 

Karena kita terjebak pada sikap dikotomis antara ilmu agama
dan ilmu umum, akhirnya kita termarginalkan dalam percaturan global, tidak bisa
berperan seperti dahulu dalam kepemimpinan ilmu. Berada di pinggir dalam
memberikan konstribusi pembangunan peradaban dunia.  [bersambung../hidayatullah.com]
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. Adieen Ilmu - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger